Resensi The Pearl (Mutiara) oleh John Steinbeck

Judul: Mutiara
Penulis: John Steinbeck
Penerjemah: Ary Kristanti
Penerbit: Penerbit Liris
Tahun terbit: 2013
Tebal: 142 halaman
ISBN: 978-602-1526-12-5
Genre: Fiksi Sosial
Rating: 4/5

Di salah satu saluran televisi swasta Indonesia, ada sebuah program yang bernama “Uang Kaget” yang memungkinkan orang-orang dengan taraf kehidupan menengah ke bawah mendapatkan uang dalam jumlah besar untuk dihabiskan saat itu juga. Seumur-umur tidak pernah melihat bahkan memegang uang puluhan juta, tiba-tiba diharuskan menghabiskan uang tersebut hanya dalam hitungan jam, alhasil kebanyakan dari mereka seringnya memang terkaget-kaget sekaligus bingung bagaimana membelanjakan uang tersebut.

Ada yang pikirannya hanya sampai pada batas yang ia mampu jangkau hingga akhirnya memutuskan untuk membeli barang-barang kebutuhan harian saja, ada yang membeli barang idamannya, namun tak sedikit pula yang memiliki cara berpikir jangka panjang dengan membeli barang yang bisa dijadikan investasi.

Tabiat ekonomi masyarakat tidak jauh berbeda dengan gambaran yang diberikan di program televisi tersebut. Semakin tinggi pendatapan seseorang, maka semakin banyak kebutuhannya. Katakanlah orang yang penghasilannya sehari hanya 10 ribu, umumnya ia hanya sanggup membeli tempe sebagai lauk makan. Tapi ketika penghasilannya meningkat menjadi 100 ribu sehari, ia akan menginginkan lauk yang lebih enak dari tempe, ikan misalnya.

Lantas jika ia akhirnya sanggup berpenghasilan satu juta per hari, maka ia akan dengan mudahnya membeli daging atau makan di restoran mahal, membeli barang-barang lainnya yang ia inginkan. Kadangkala semakin banyak harta kekayaan seseorang, semakin berpeluang keburukan mengintai. Uang bahkan bisa mengubah seseorang berbalik tiga ratus enam puluh derajat.

Realita sosial ini diangkat Steinbeck dalam karya monumentalnya yang berjudul Mutiara dengan cukup humanis dalam sosok Kino. Kino adalah salah seorang kepala keluarga dengan istri dan satu anak di sebuah perkampungan suku Indian. Demi mengobati anaknya, Kino dan istrinya Juana mencari mutiara dengan maksud menjualnya untuk biaya dokter yang menolak mereka mentah-mentah karena alasan kemiskinan.

Rupanya mujur bagi Kino, ia mendapatkan mutiara yang sangat besar dan sempurna. Mutiara terbesar yang pernah ditemukan di daerahnya. Kino membayangkan mutiara sebesar itu akan memberikan banyak pengharapan; Pakaian yang layak bagi Juana, kano untuk bekerja, juga pendidikan anaknya agar mereka bisa keluar dari keterpurukan.

Tentu saja, bersamaan dengan kegembiraan itu, ada banyak tragedi mengintai kehidupan mereka. Mutiara itu membangunkan iblis di dalam diri banyak orang. Kini, Kino, Juana serta bayi di dalam gendongannya harus menghadapi perjalanan antara hidup dan mati. Mutiara itu membawa mereka pada perangkap demi perangkap, perampasan, juga pengejaran demi pengejaran.

Sejauh ini Steinbeck tidak pernah mengecewakan saya. Novel-novel karyanya selalu berhasil membuat saya semakin jatuh cinta. Ciri khas Steinbeck sangat mudah dikenali dari karyanya. Ia cenderung mengangkat tema-tema sosial dengan selipan-selipan satire. Juga penokohannya yang terasa sangat utuh dan kuat. Sangat berkarakter.

Meski tipis, karya-karyanya selalu saja membuat saya menahan nafas, merasakan sensasi ketegangan dalam narasinya yang detail, dan kemudian menarik nafas yang sangat panjang saat halaman terakhir berhasil saya selesaikan dengan pemaknaan yang mendalam. Berisi dan manis.

Membaca novelnya ini membuat saya teringat dengan film layar lebar yang dibintangi oleh Leonardo DiCaprio berjudul Blood Diamond. Esensi kisah Leonardo DiCaprio dalam Blood Diamond dan Kino dalam novel Mutiara ini memiliki banyak kesamaan; sama-sama mengangkat isu diskriminasi sosial, realita korporasi, ironi suku minoritas dan daerah konflik, juga sifat dasar manusia yang mudah dipengaruhi.

Tapi, dari novel Mutiara ini, kita tak hanya disuguhkan sekedar wacana sosial saja, melainkan kita akan mendapati sisi-sisi emosional dan karakter manusia yang lebih mendalam. Bahwa setiap kita sebetulnya memiliki satu benang merah, yakni sama-sama menginginkan yang terbaik untuk hidup kita.

“Karena seperti kata pepatah bahwa manusia memang tak pernah puas, jika sudah diberi sesuatu pasti akan meminta yang lebih, dan sayangnya hal tersebut merupakan satu-satunya bakat terbesar manusia yang membuatnya menjadi makhluk yang lebih mulia daripada binatang, padahal binatang selalu merasa puas dengan yang mereka miliki.” (The Pearl – John Steinbeck)