EdwardTulaneJudul: Perjalanan Ajaib Edward Tulane
Penulis: Kate DiCamillo
Judul Asli: The Miraculous Journey of Edward Tulane
Penerjemah: Dini Pandia
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama
ISBN: 979-22-2487-4
Tebal: 208 hlm
Dimensi: 20,5 cm
Tahun terbit: November 2006
Cetakan: ke I
Genre: Fiksi Anak, Fabel
Rating: 5/5

Dahulu kala, tinggallah ‘seekor’ kelinci porselen di sebuah rumah di Egypt Street. Namanya Edward Tulane, dan ia sangat indah. Lengan, kaki dan telinganya bisa ditekuk ke berbagai posisi sesuai suasana hatinya. Kelinci ini memiliki banyak sekali pakaian yang terbuat dari sutera, juga sepatu dari kulit, dan topi-topi yang disesuaikan dengan telinganya. Edward merasa sangat bangga pada dirinya sendiri. Ia tak suka disebut benda atau boneka. Di rumah itu, hanya pemiliknya Abilene Tulane—seorang anak perempuan berusia sepuluh tahun dan berambut gelap— yang sangat menyayangi dan mengistimewakan Edward. Abilene memperlakukannya dengan penuh kasih sayang, bahkan memberikan Edward sebuah jam saku emas sebagai pengingat waktu, tapi Edward sepertinya tidak terlalu peduli. Ia hanya memikirkan dirinya sendiri.

Suatu ketika, keluarga Tulane akan melakukan perjalanan ke London menggunakan kapal Queen Mary, dan Edward akan ikut bersama mereka. Malam sebelum keberangkatan, Pellegrina, nenek Abilene, menceritakan sebuah kisah tentang seorang putri cantik yang berubah menjadi babi hutan. Meskipun cantik, putri itu memiliki jiwa yang kerdil dan sangat egois. Pellegrina mengucapkan sebuah kalimat sambil menatap Edward, yang nantinya akan diingat oleh Edward dalam waktu yang lama.

“Ia putri yang tidak menyayangi siapa pun dan tak peduli pada rasa sayang, meskipun banyak yang menyayanginya.” (halaman 31)

Lalu tibalah waktunya mereka berangkat. Di atas kapal mewah itu, malang bagi Edward, sebuah kecelakaan kecil terjadi dan membuatnya terjatuh ke laut dan tenggelam. Inilah awal mula perjalanan panjang Edward. Di dasar laut itu, Edward pertama kali merasakan emosi tulus dan murni, sebuah rasa takut. Berbulan-bulan ia berada di laut hingga akhirnya badai membuatnya terombang-ambing naik dan turun, lalu sebuah jala nelayan mengangkatnya secara tak sengaja.

Nelayan tua itu bernama Lawrence. Ia membawa pulang Edward untuk dihadiahkan kepada Nellie, istrinya, yang kemudian memberi Edward nama Susanna. Jadilah Edward sekarang kelinci perempuan dengan gaun-gaun cantik yang dijahit oleh Nellie. Pasangan itu sangat menyayangi Edward dan memperlakukannya seperti anak mereka sendiri. Lawrence senang mengajak Edward melihat bintang di malam hari. Sedangkan Nellie suka sekali mengajak Edward berbicara, dan ajaibnya, inilah kali pertama Edward merasakan suatu sensasi yang berbeda.

“Dan Edward terkejut saat mendapati ia memang mendengarkan. Sebelum ini, kalau Abilene bicara padanya, semua terasa begitu membosankan, begitu tak berguna. Tapi sekarang, kisah-kisah yang diceritakan Nellie bagai sesuatu yang paling penting di dunia.” (halaman 67)

Edward merasa bahagia tinggal bersama pasangan tua itu, tapi kebahagiaan itu tak bertahan lama. Lolly, anak mereka, suatu ketika datang dan membawa Edward pergi secara diam-diam karena ia membenci kelinci malang itu. Edward pun berakhir di tempat pembuangan sampah. Empat puluh siang dan malam berlalu, namun Edward masih berada di timbunan sampah itu dengan kondisi kotor dan bau. Dalam penantiannya, Edward merasa rindu pada Abilene, Lawrence dan Nellie, yang akhirnya membuat ia bisa memahami kata-kata Pellegrina di malam sebelum keberangkatannya dulu tentang makna sayang.

Lalu, ia pun ditemukan oleh seekor anjing bernama Lucy, milik seorang gelandangan bernama Bull. Bersama Bull dan Lucy, Edward hidup secara berpindah-pindah. Ia bernama Malone kini, disukai teman-teman Bull, dan sering mendengarkan ocehan mereka. Hatinya terbuka lebar dan terus melebar. Tapi, lagi-lagi kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Suatu malam, saat mereka berada di gerbong sebuah kereta sebagai penumpang gelap, seorang petugas menemukan mereka dan menendang Edward hingga keluar dari gerbong. Edward harus terpisah lagi dengan sahabat barunya. Sesuatu di dalam dirinya terasa sakit, dan ia ingin sekali menangis.

Berhentikah perjalanan Edward? Belum. Seorang wanita memungutnya dan ia berakhir sebagai orang-orangan sawah. Lalu seorang anak bernama Bryce menyelamatkannya dan Edward sekarang berada di tangan adik perempuannya yang sakit parah bernama Sarah Ruth. Bagaimana selanjutnya perjalanan Edward setelah Sarah Ruth meninggal? Apakah Bryce berhasil memperbaiki Edward yang pecah? Lantas, bagaimana akhir dari perjalanan Edward yang panjang?

Novel ini benar-benar luar biasa. Kate dengan sangat cerdas dan cermat berhasil mengeluarkan perasaan dari sudut pandang sebuah boneka, yang bagi saya adalah sesuatu yang unik. Tak setiap orang mampu menerjemahkan perasaan benda mati sehidup perasaan Edward Tulane yang ditulis oleh Kate. Padahal di dalam buku ini, tak sekali pun boneka itu berbicara seperti umumnya fiksi fantasi. Saya merasakan kehilangan Edward setiap kali ia menjumpai pemilik baru lalu terpisah, kemudian berjumpa lagi dengan yang lain, lalu terpisah lagi berulang-ulang. Kehilangannya, kesedihannya dan rasa sayang yang ia rasakan benar-benar nyata pula saya rasakan, seakan Edward adalah diri saya sendiri.

“Aku pernah disayang,” kata Edward. “Aku pernah disayang gadis bernama Abilene. Aku pernah disayang nelayan dan istrinya, juga gelandangan dan anjingnya. Aku pernah disayang oleh anak laki-laki yang jago main harmonika dan oleh anak perempuan yang sekarang sudah meninggal. Jangan bicara soal kasih sayang padaku,” katanya. “Aku mengenal kasih sayang.” (halaman 170-171)

Ada satu ungkapan yang saya suka di bagian akhir kisah ini, yang berasal dari sebuah boneka tua saat Edward merasa putus asa.

“Tidak ada gunanya melanjutkan hidup kalau kau merasa seperti itu. Tak ada sama sekali. Kau harus punya kemauan. Kau harus dipenuhi harapan. Kau harus ingin tahu siapa yang akan menyayangimu, siapa yang akan kausayangi selanjutnya.” (halaman 176)

Kisah ini berakhir dengan sangat mengharukan. Apa yang ditulis oleh Kate ini benar-benar indah. Saya sendiri tak bisa menebak atau menyangka akhir cerita dari kisah ini. Bahkan hingga lembar terakhirnya selesai saya baca, air mata saya meleleh tanpa henti, meninggalkan buncahan rasa dan kesan yang teramat mendalam, yang entah bagaimana menjelaskannya, membuat saya merasa lebih hidup. Novel ini tak sekadar novel anak-anak, sebab begitu banyak filosofi dan makna hidup di dalamnya.

Mengutip sinopsis di sampul belakang buku ini,

“Bahwa hati yang paling rapuh sekalipun dapat belajar menyayangi, kehilangan, dan menyayangi lagi.”

Buku yang memesona!