Review Buku Assassin's Creed ForsakenJudul: Assassin’s Creed Forsaken
Judul Asli: Assassin’s Creed Forsaken
Penulis: Oliver Bowden
Alih Bahasa: Melody Violine
Penyunting: Puti Amaranta
Penerbit: Fantasious (Ufuk)
ISBN: 978-602-7689-73-2
Tebal: 524 hlm
Tahun terbit: April 2014
Cetakan: Pertama
Genre: Fantasi, Thriller, Action
Rating: 3,5/5

Sebuah paket bersampul rapi datang ke alamat saya. Dari Fantasious. Apa pula ini? Saya merasa tidak pernah memesan buku apa pun. Dengan penasaran, saya membuka bungkusnya terburu-buru dan menemukan sebuah judul Assassin’s Creed Forsaken. Ya, ya, saya langsung tahu siapa pengirimnya. Seorang penikmat buku yang sebagian besar karyanya sudah saya cicipi dan membuat saya jatuh cinta. Aih, ini kiriman buku dari mbak Muthia Esfand!

Tapi, fantasi? Well, sejujurnya, awalnya saya memang agak under estimate dengan buku ini. Fantasi adalah genre yang bukan prioritas baca saya karena kebanyakan berkisah tentang—yah, you know lah—dunia peri, magis, ilusi, dan sejenisnya, dan sebagainya. Sesuatu yang bagi saya tidak masuk akal dan terlalu imajinatif. Unreal. Dan saya pikir buku ini adalah satu di antara fantasi sejenis. Tapi, setelah membaca beberapa bab novel ini, saya tarik kembali kata-kata saya, karena novel ini bukanlah seperti yang saya kira. Novel ini ternyata petualangan, action dan sejarah, dan saya suka sekali itu, terlebih karena tema buku ini tentang Assassin yang membuat saya semakin tertarik dan ingin tahu lebih jauh. Lalu, seperti apa kisah Assassin’s Creed Forsaken ini?

Adalah Haytham Kenway, yang sejak kecil sudah dilatih ayahnya menggunakan pedang dan bagaimana cara bertarung. Dibesarkan di lingkungan keluarga berada, terhormat dan harmonis, Haytham tumbuh menjadi anak lelaki yang berbeda dari anak seusianya. Ia begitu mengagumi ayahnya dengan segala kebijaksanaan yang diajarkan.

Ayah sering berkata, “Agar bisa melihat dengan cara yang berbeda, pertama-tama, kita harus berpikir dengan cara yang berbeda.”

Dia punya cara memandang dunia yang tidak seperti orang lain, begitulah; cara memandang dunia yang menantang setiap gagasan tentang kebenaran. (halaman 33)

Kehidupannya yang hampir sempurna mendadak berubah ketika rumahnya diserang oleh orang tak dikenal. Ayahnya dibunuh di depan matanya dan kakaknya Jenny diculik. Untuk melindungi ibunya, satu-satunya keluarga yang masih ia punya, Haytham membunuh salah seorang penyerang. Itulah pembunuhan pertama yang dilakukannya. Dan sejak saat itu, ibunya sudah tak sama lagi. Ibunya selalu menghindar darinya. Haytham kemudian pergi dengan hati hancur, mengetahui bahwa ibunya sudah tak sayang lagi padanya. Ia dibawa oleh Mr. Birch, sahabat ayahnya, yang melatihnya menjadi seorang Templar. Keinginannya untuk mencari Jenny dan pembunuh ayahnya, serta membalaskan dendam membawanya menjadi seorang pembunuh tanpa cela, yang tidak memercayai siapa pun. Ia tak menerima segala sesuatu apa adanya tanpa mempertanyakannya.

Kejadian demi kejadian lantas mengarahkannya semakin dekat dengan pembunuh dan masa lalu ayahnya. Ia mendapatkan jurnal ayahnya, yang ternyata seorang Assassin. Sebagai seorang Templar, Haytham ikut terseret dalam perseteruan antara ordonya dengan Assassin untuk mencari ‘harta karun’ masa lalu yang sangat berpengaruh, yang sudah berlangsung selama beradab-abad. Berhasilkah Haytham menemukan siapa pembunuh ayahnya? Apakah ia juga berhasil menemukan Jenny dan situs harta karun tersebut? Jalan mana yang dipilih Haytham, Templar atau Assassin? Atau keduanya?

***

Petualangan Haytham benar-benar seru dan menegangkan. Novel ini penuh dengan darah, kesakitan, dan kehilangan hingga cukup mengaduk-aduk perasaan saya. Seorang anak membunuh ayahnya, seorang sahabat membunuh sahabatnya. Pengkhianatan, tipu muslihat, persekongkolan, semuanya campur aduk ada di novel ini.

Assassin’s Creed adalah novel yang diadaptasi dari sebuah video game yang cukup populer dari Ubisoft. Sudah ada lima judul di serial ini yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, dan Forsaken merupakan judul kelimanya. Saya belum pernah membaca seri ini dari awal dan Forsaken adalah kali pertama saya membaca Assassin’s Creed.

Ketika membaca sebuah buku, tentunya saya juga membaca ide dan gagasan yang tersirat dalam setiap buku. Jadi, jika dibolehkan, saya ingin juga mengulas sedikit pandangan saya terhadap gagasan yang diangkat dalam novel ini. Mengenai Templar dan Assassin, sebelum membaca buku ini, saya sudah pernah membaca beberapa referensi seputar sejarah keberadaan Templar dan Assassin. Kalau Templar mungkin sudah banyak orang yang familiar mendengarnya. Tapi Assassin? Mungkin tak banyak yang tahu kalau Assassin (Hasyasyin) itu sendiri merupakan sebuah ordo dari kelompok Syi’ah (ingat lho, Syi’ah bukan bagian dari Islam), yang keberadaannya dalam sejarah pernah menumpahkan darah para pejuang-pejuang dan pemimpin Islam, baik sebelum maupun sesudah perang sabil (atau perang salib). Baik Templar maupun Assassin, keduanya memiliki metode dan konsep tersendiri tentang pertahanan diri maupun membunuh. Mereka mempunyai gaya bela diri dan senjata khas sendiri. Tetapi satu hal yang sama dari mereka adalah, bahwa keduanya sama-sama memiliki ambisi untuk membuat dunia ini tunduk. Seperti yang disiratkan di dalam novel ini, bahwa Templar ingin menguasai dunia dengan sebuah ketertiban. Ketertiban tercipta dari kedisiplinan, keteraturan, dan ketaatan. Sedangkan Assassin lebih mendukung pada kebebasan. Dengan kebebasanlah, Assassin bisa menyatukan dunia ini. Dan keduanya sepakat bahwa membunuh adalah salah satu cara untuk menegakkan cita-cita tersebut.

Bagi saya, gagasan tentang pembunuhan, kekerasan, atau dendam yang diangkat novel ini secara keseluruhan memang cukup riskan. Sebagai contohnya saya pribadi saja, ketika membacanya, dengan berat hati saya akui bahwa saya pun terbawa emosi dan secara tak sadar mendukung tindakan balas dendam Haytham. Bahwa si pembunuh pantas mati dan tersiksa. Bahwa si penyiksa pantas dibunuh dan dibantai. Ada sisi kekerasan yang bangun dalam diri saya, jika bisa dikatakan seperti itu, dan itu membuat saya bergidik ngeri. Belum lagi latar Assassin dan Templar yang juga sama-sama tak saya suka. Itulah mengapa saya menjadi semakin penasaran saat menerima buku ini. Saya memang ingin mencicipinya. Saya ingin mengetahui bagaimana sisi keduanya ditampilkan dalam novel ini. Jadi mungkin, menurut saya, novel ini lebih cocok dibaca oleh mereka yang sudah dewasa, karena pemahaman yang dewasa akan memudahkan pembaca memilah mana yang patut ditiru dan mana yang tidak, sebab tak semua gagasan di dalam novel ini mungkin berdampak negatif. Ada juga yang memberi dampak positif seperti cara pandang kita terhadap dunia dan kehidupan, tentang psikologi seorang anak, tentang kehidupan berkeluarga, dan tentang melindungi diri. Ada banyak hal yang bisa dipelajari dari novel ini. Saya jadi sadar kalau saya tidak pernah belajar bela diri dengan serius. Mungkin setelah ini? Hmm…mungkin 😀

Tapi, terlepas dari itu semua, terlepas dari segala isu ideologi, filosofi, moral, atau apalah namanya, novel ini memang keren! Novel ini ditulis dalam bentuk yang unik. Dengan narasi menggunakan sudut pandang orang pertama, yang juga merupakan tokoh sentral novel ini, si narator kemudian menceritakan seluruh kisah berdasarkan jurnal milik Haytham Kenway. Yup. Sejak kecil, Haytham sudah rajin menulis jurnal berisi apa saja yang ia alami, dan jurnal itulah yang ada di tangan pembaca dalam bentuk novel.

Saya sendiri cukup terkejut dengan cara Oliver Bowden menulis seri Forsaken ini, seolah-olah saya sedang menonton jalan hidup tokoh-tokohnya. Saya suka sekali membacanya. Benar-benar terasa nyata dan natural. Selain karena latar penulis yang berasal dari Inggris sekaligus seorang sejarawan renaisans, mungkin itu juga dipengaruhi oleh terjemahan Ufuk yang memang nyaman sekali dibaca, tidak kaku, dan sangat alami. Saya hampir tidak menemukan kejanggalan kalimat atau kata-kata seperti umumnya buku terjemahan. Beberapa kata tertentu memang tetap dibiarkan dalam bahasa aslinya. Itu tentu saja menjadi satu kelebihan novel ini karena membuat pembaca lebih memahami budaya, latar tempat dan waktu terjadinya cerita. Yah, tahu sendirilah, kadang ada ‘kan terjemahan yang membabat habis semua kata untuk diterjemahkan? Dan hasilnya bukan malah bagus, tapi justru aneh. Nah, di novel ini, pembaca tidak akan menemukan hal seperti itu. Saat melirik siapa penerjemah dan tim penata aksaranya, saya tidak heran kalau hasilnya akan bagus sekali. Siapa lagi kalau bukan Melody Violine dan kawan-kawan. Dua jempol buat penerjemah dan penata aksaranya.

Dari segi tampilan, sampul novel ini juga tak kalah keren dengan isinya. Bentuk fisiknya yang bagus ditambah pembatas buku unik, yang bisa diubah jadi semacam sampel action figure, membuat orang semakin tertarik dan penasaran sebelum membaca isinya. Pembatas bukunya menampilkan sosok timbal balik dua tokoh novel, Haytham Kenway dan Connor Kenway. Saya saja jadi bertanya-tanya di awal, siapa sih si Connor Kenway itu? Saya menerka-nerka kalau Connor itu adalah versi samarannya Haytham Kenway saat menjadi Assassin, dengan jubah khasnya dan bilah tersembunyi. Terlihat gagah. Ternyata….Ah, baca sendiri saja ya! Saya juga sempat bertanya-tanya dalam hati, apakah buku ini sudah ada versi filmnya? Sebab selama saya membacanya, saya membayangkan petualangan tersebut berlangsung dalam bentuk visual seperti di film.

Overall, novel ini memang keren! Lantas muncul lagi pertanyaan di kepala saya, “Akankah saya membaca empat seri sebelumnya?” Mungkin saja. Saya jadi sangat penasaran mengikuti jalan cerita serial ini dan berharap empat seri sebelumnya maupun seri berikutnya bisa sebagus dan sekeren ini.

Para ver de manera diferente, primero debemos pensar diferente

Pembatas Buku Forsaken

Pembatas Buku Forsaken

Makasih banyak, Mbak Muth, buat buku kerennya 🙂

***

Beberapa referensi seputar Assassin bisa dibaca di situs berikut: